Perkawinan atau pernikahan dalam ilmu fiqh disebut dengan kata nikāḥ yang berarti “bergaul atau bercampur”. Selain kata nikāḥ terdapat juga kata zawāj, zawāj berasal dari bahasa Arab yang memiliki pengertian pasangan.
Menurut Imam Hanafi, perkawinan adalah suatu akad yang dapat memberi faedah mut’ah secara sengaja, artinya kehalalan seorang laki-laki untuk beristima’ dengan seorang perempuan selama tidak adanya faktor yang menghalangi sahnya pernikahan tersebut secara syar’i. (1986:312)
Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dalam pasal 1 menyebutkan, “Perkawinan atau pernikahan mempunyai arti: suatu hal yang berkenaan dengan urusan kawin. Sedangkan kawin berarti membentuk keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau beristeri dan sah secara resmi melakukan hubungan badan.”
Menurut hemat penulis, pernikahan atau perkawinan merupakan suatu hubungan yang sah secara agama dan negara antara seorang laki-laki dan perempuan untuk mengikat suatu perjanjian, sebagaimana yang tertera dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 3: “ Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mītsāqon gholīdhan untuk mentaati perintah Allah Swt dan melaksanakannya merupakan ibadah.”
Setelah memahami pengertian pernikahan kita beranjak pada dasar hukum pernikahan. Hukum pernikahan merupakan hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut hubungan biologis antar jenis dan hak yang berhubungan dengan akibat pernikahan tersebut. (2009:8-9)
Bagi fuqaha yang berpendapat bahwa pernikahan itu wajib bagi sebagian orang, Sunnah untuk sebagian orang yang lain dan mubah untuk yang lain, maka pendapat ini didasarkan pada kemaslahatan. Berikut penjelasan hukum nikah. (2011:43)
Hukum nikah menjadi Wajib pada kondisi seseorang memiliki kemampuan secara materi, jiwa, mampu menegakkan keadilan dalam pergaulan yang baik dengan perempuan yang dinikahinya. Bagi seseorang yang sudah merasa mampu untuk melaksanakan pernikahan maka disegerakan untuk menikah dan apabila ia takut jika tidak segera menikah akan melakukan perbuatan zina. (lihat. An-Nuur/24:33)
Hukum nikah menjadi Sunnah pada kondisi jika seseorang tersebut telah mampu dan siap secara jasmani, rohani dan materi. Hukum nikah menjadi Mubah yakni pada kondisi normal, memiliki harta, tidak khawatir dirinya melakukan maksiat sekalipun membujang dan ia tidak khawatir akan berbuat jahat terhadap istrinya.
Hukum pernikahan menjadi Makruh pada keadaan seseorang mempunyai kemampuan materi untuk biaya pernikahan dan tidak khawatir melakukan maksiat, tetapi ia khawatir akan menganiaya istrinya dan khawatir tidak mampu untuk menafkahi keluarga. Hukum pernikahan menjadi Haram, apabila seseorang tersebut tidak yakin memiliki kemampuan dalam segi nafkah dan ia yakin akan menganiaya istrinya jika pernikahan itu terjadi.
Rukun dan Syarat Pernikahan
Rukun nikah menurut Abd. Rahman al-Ghazaly dalam buku “Fiqh Munakahat” adalah sesuatu yang mesti ada dalam pernikahan untuk menentukan sah dan tidaknya sesuatu seperti rukun untuk melaksanakan takbīratul ihram untuk salat. Sedangkan syarat adalah sesuatu yang menentukan sah dan tidaknya suatu ibadah, tetapi sesuatu tersebut tidak termasuk dalam rangkaian ibadah tersebut. Seperti menutup aurat ketika hendak melaksanakan salat.
Rukun nikah: adanya calon mempelai laki-laki, calon mempelai perempuan, wali nikah, dua orang saksi, Ijab dan Qabul.
Syarat pernikahan secara garis besar ada dua yaitu: Pertama, calon mempelai perempuan halal untuk dikawini oleh laki-laki yang ingin menjadikannya istri.jadi, calon perempuan tersebut bukan perempuan yang haram dinikahi, baik haram dinikahi. Kedua, akad nikah yang dihadiri oleh saksi.
Penulis: Dinul Qoyyimah (PAC Fatayat NU Baturiti)